Indonesia: Antara Janji Kemerdekaan dan Realitas Penindasan Kebijakan

Table of Contents

 

Indonesia: Antara Janji Kemerdekaan dan Realitas Penindasan Kebijakan Canfiki NIndonesia: Antara Janji Kemerdekaan dan Realitas Penindasan Kebijakan Canfiki N
Indonesia: Antara Janji Kemerdekaan dan Realitas Penindasan Kebijakan (Foto Penulis: Canfiki N)

Waeboto.com - Peristiwa demonstrasi yang terjadi belakangan ini menjadi penanda jelas bahwa bangsa Indonesia sedang berada dalam masa krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Gelombang protes yang muncul tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, tetapi juga melibatkan kaum buruh dan bahkan pelajar Sekolah menenengah Atas (SMA) di berbagai kota besar Indonesia. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa keresahan tidak lagi bersifat parsial, melainkan meluas ke hampir semua lapisan masyarakat.

Akar permasalahan dari gelombang demonstrasi ini adalah kebijakan pemerintah yang semakin hari semakin dirasa tidak berpihak pada rakyat. 

Presiden Prabowo Subianto, yang dulu berulang kali menegaskan janjinya untuk menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama, kini dianggap gagal mewujudkan hal tersebut. 

Janji-janji politik yang dulu membangkitkan harapan rakyat ternyata hanya sebatas retorika. Realitasnya, kebijakan yang diambil justru lebih menguntungkan kaum elit, sementara rakyat kecil semakin ditekan dengan beban ekonomi yang berat.

Kemarahan rakyat semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan di tingkat daerah. Kasus yang mencuat di Kabupaten Pati, di mana bupati setempat menaikkan pajak secara signifikan, menjadi pemicu demonstrasi besar. 

Di tengah situasi ekonomi yang sulit, kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan yang menyengsarakan. Rakyat merasa pemerintah daerah sama sekali tidak peka terhadap penderitaan mereka. Tidak heran jika kemarahan berubah menjadi aksi massa di jalan-jalan.

Lebih ironis lagi, ketika rakyat menjerit, lembaga legislatif justru sibuk membicarakan kenaikan tunjangan bagi para anggotanya. Keputusan semacam ini seolah menjadi tamparan keras bagi rakyat yang kian terhimpit. Kemarahan publik pun memuncak, melahirkan gelombang demonstrasi di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, hingga kota-kota lainnya. 

Sayangnya, peristiwa ini tidak hanya berakhir dengan suara protes, melainkan juga meninggalkan duka mendalam: fasilitas umum terbakar, bentrokan terjadi, dan korban jiwa berjatuhan.

Lalu, siapa yang pantas disalahkan dalam peristiwa ini? Jawabannya jelas: pemerintah dan kaum elit politik. Mereka yang membuat kebijakan seharusnya menanggung penuh tanggung jawab atas kericuhan dan korban yang muncul. 

Rakyat hanyalah pihak yang dirugikan, mereka yang menanggung beban pajak, mereka yang diperas tenaganya, mereka yang dipinggirkan oleh keputusan yang dibuat di balik meja kekuasaan.

Pertanyaan besar kemudian muncul: apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka? Jika melihat konstitusi, jelas bangsa ini sudah merdeka sejak 1945. Namun, dalam praktik sehari-hari, rakyat masih jauh dari kata merdeka. 

Mereka dijajah oleh kebijakan yang menindas, oleh aparat yang membatasi kebebasan berekspresi, oleh negara dan korporasi yang mencaplok hutan dan tanah rakyat, oleh hukum yang dipermainkan sesuai kepentingan, serta korupsi yang seakan menjadi budaya bangsa Indonesia. 

Seperti dikatakan Thomas Hobbes negara itu seperti monster besar, bengis dan kejam yang menerkam mangsa (Letviathan)

Maka tidak berlebihan jika ada ungkapan bahwa Indonesia yang dijanjikan akan menjadi “Indonesia Emas” justru kini lebih layak disebut “Indonesia Cemas.” 

Bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju jika pemerintahnya lebih sibuk mengurus dirinya sendiri ketimbang rakyatnya? Bagaimana mungkin cita-cita kemerdekaan bisa terwujud jika demokrasi hanya dijadikan kedok untuk melanggengkan kekuasaan?

Tulisan ini lahir dari keresahan saya sebagai anak bangsa yang perihatin terhadap kondisi Indonesia hari ini. Keresahan ini bukan semata-mata untuk mengutuk keadaan, tetapi juga sebagai bentuk cinta saya terhadap tanah air. 

Sebab, jika kita diam, maka penindasan akan terus berlangsung, dan generasi berikutnya hanya akan mewarisi penderitaan. Indonesia tidak boleh berhenti pada slogan. Indonesia tidak boleh hanya hidup dari mimpi dan janji. Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat benar-benar merasakan keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan. 

Perjuangan untuk mewujudkan itu tidak boleh padam. Kita yang hidup hari ini memiliki tanggung jawab moral untuk terus menyuarakan kebenaran, demi anak cucu yang kelak akan meneruskan kehidupan di bumi pertiwi.


Penulis: Canfiki N