Serikat Pemuda NTT Desak Pemerintah Batalkan Proyek Geotermal dan Investasi di Taman Nasional Komodo
Organisasi ini menilai investasi tersebut telah memicu banyak konflik agraria dan lingkungan hidup, dan sering kali merugikan masyarakat kecil.
SP NTT menyoroti dua masalah utama: proyek geotermal di Flores-Lembata dan investasi di Taman Nasional Komodo, termasuk di Pulau Padar.
Proyek Geotermal di Flores dan Lembata
SP NTT mendesak Kementerian ESDM untuk mencabut SK Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Menurut SP NTT, proyek-proyek geotermal telah menimbulkan perpecahan sosial dan kegelisahan di masyarakat. Hal ini terjadi di beberapa lokasi seperti Wae Sano, Poco Leok, Mataloko, dan Atadei di Pulau Lembata.
Dalam keterangannya, SP NTT menganggap pernyataan Gubernur NTT, Melki Laka Lena, yang mengaku mencintai rasa persaudaraan dan kekeluargaan sebagai "bualan saja".
Organisasi ini menyebut bahwa konflik sosial akibat investasi masih terus berlangsung. Proyek geotermal di Mataloko bahkan disebut telah gagal sejak hampir tiga dekade lalu, yang alih-alih memberikan "terang" justru menyebabkan "kegelapan sosial, lingkungan dan kehancuran ruang hidup".
Privatisasi di Taman Nasional Komodo
SP NTT juga mendesak Kementerian Kehutanan untuk membatalkan atau mencabut konsesi yang diberikan kepada beberapa perusahaan di Taman Nasional Komodo. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk
PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar, PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa, dan PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca.
Organisasi Pemuda NTT ini menyebutkan bahwa PT KWE, yang terkait dengan Tomy Winata dan Setya Novanto, mendapat izin pada tahun 2014 untuk memanfaatkan 274,13 hektar di Pulau Padar.
Pemberian izin ini terjadi setelah KLHK mengubah status zonasi Pulau Padar dari zona inti dan zona rimba menjadi zona pemanfaatan pada tahun 2012.
SP NTT menduga kuat ada "maksud terselubung" di balik perubahan zonasi ini, yang berujung pada privatisasi kawasan tersebut.
Akibatnya, warga lokal Ata Modo hanya mendapat 17 hektar zona permukiman, sementara korporasi menguasai ratusan hektar. Tanah yang dikuasai investor ini sebagiannya merupakan tanah ulayat warga yang sebelumnya diambil atas nama konservasi.
SP NTT menyimpulkan bahwa investasi tanpa mempertimbangkan kondisi dan distribusi ruang hidup masyarakat hanyalah bentuk legal dari perampasan.