Gubernur NTT Dikawal Aparat Bersenjata Laras Panjang, Pemuda Poco Leok: Pemerintah atau Preman?
![]() |
Kristian Jaret, Pemuda Poco Leok. (Kolase Foto: Waeboto.com) |
Waeboto.com - Kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, ke Poco Leok, Kabupaten Manggarai, pada Rabu (16/7/2025) menuai sorotan tajam. Pasalnya, kunjungan ke wilayah yang tengah berkonflik terkait proyek panas bumi (geotermal) itu diwarnai pengawalan ketat aparat bersenjata laras panjang, yang dinilai sebagai bentuk intimidasi oleh pemuda setempat.
Kunjungan Gubernur Laka Lena yang bertujuan untuk berdialog dengan warga terkait proyek strategis nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Poco Leok disambut dengan unjuk rasa.
Warga telah berkumpul sejak pukul 10.00 Wita di pertigaan menuju Kampung Lungar, salah satu dari 10 kampung adat di Poco Leok.
Saat Gubernur Laka Lena tiba di lokasi sekitar pukul 16.57 Wita setelah memimpin rapat kerja di Ruteng, warga langsung membentangkan spanduk dan meneriakkan penolakan. Pekikan seperti “Tolak geotermal Poco Leok” dan “Poco Leok bersatu, tak bisa dikalahkan!” terus menggema.
Dalam kunjungannya, Gubernur Laka Lena yang datang bersama Dandim Manggarai Budiman Manurung dan Kapolres Hendri Syaputra mendapat pengawalan berlapis. Selain didampingi pengawal pribadi dan sejumlah anggota kepolisian, tampak dua personel polisi membawa senjata laras panjang yang terus mengikuti gubernur. Satu unit kendaraan taktis (rantis) milik kepolisian juga disiagakan tidak jauh dari lokasi unjuk rasa.
Sebut Sebagai Intimidasi
Pengawalan yang dinilai berlebihan ini menuai kecaman keras dari Pemuda Poco Leok. Kristian Jaret, salah seorang pemuda setempat, menyatakan bahwa pendekatan tersebut merupakan bentuk intimidasi terhadap rakyat.
"Kehadiran Gubernur NTT di Poco Leok yang dikawal anggota polisi berlaras panjang itu sangat berlebihan sebagai seorang pemimpin rakyat. Ini kami menilai sebagai bentuk intimidasi terhadap rakyat," ujar Kristian dalam keterangannya kepada Waeboto.com melalui pesan WhatsApp, Senin (21/7/2025).
Ia mengingatkan bahwa tindakan represif, termasuk kekerasan fisik terhadap warga penolak tambang hingga jurnalis yang meliput, bukanlah hal baru dalam konflik geotermal di Poco Leok.
"Ini semua adalah wujud nyata keberingasan kekuasaan. Mungkin saja suatu hari nanti anak cucu kita tidak mampu membedakan mana pemerintah dan mana preman," tambahnya.
Kristian juga menyoroti pernyataan Gubernur Laka Lena dalam dialog yang menyebut "geotermal tidak lebih penting dari kekeluargaan dan persaudaraan". Menurutnya, pernyataan itu kontradiktif.
"Kedengarannya bagus sekali. Tapi sepertinya lupa bahwa akar dari perpecahan sosial yang terjadi di Poco itu adalah proyek tambang panas bumi," tegasnya.
Lebih lanjut, ia membantah keras tudingan bahwa penolakan warga didalangi oleh pihak lain. Hal ini merujuk pada pernyataan gubernur dalam sebuah diskusi pada Jumat (18/7/2025) yang menyiratkan adanya provokator.
"Ini murni kesadaran politik masyarakat adat Poco Leok. Jangan sesekali mendiskreditkan kesadaran politik rakyat," kata Kristian.
Ia juga menyayangkan anggapan bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam poster aksi adalah bukti adanya campur tangan pihak luar. "Dia meremehkan kami soal kemampuan berbahasa Inggris. Ini buruk sekali," sesalnya.
Sebagai penutup, Kristian Jaret melontarkan tantangan kepada Gubernur Laka Lena untuk membuktikan ucapannya.
"Jika Pak Gubernur betul-betul lebih menghargai persaudaraan dan kekeluargaan dibandingkan tambang panas bumi, silakan cabut penetapan pengembangan tambang panas bumi ini di Poco Leok. Setelah itu kita sama-sama merajut kembali perpecahan yang ada," tantangnya.
"Jika tidak, maka apa yang dia sampaikan itu omong kosong," pungkasnya.
Tanggapan Gubernur NTT Melkiades Laka Lena
Menanggapi sorotan tersebut, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Emanuel Melkiades Laka Lena angkat bicara soal pengamanan ketat yang menyertainya.
Melki menegaskan bahwa pengamanan menggunakan senjata laras panjang tersebut bukanlah permintaannya. Ia menjelaskan, penggunaan senjata oleh aparat merupakan prosedur tetap (protap) dalam pengamanan pejabat negara, terutama dalam situasi yang dinilai dinamis.
"Memang bagi aparat keamanan mereka punya standar prosedur untuk pengamanan baik itu pengamanan aksi demonstrasi, pengamanan aksi dialog dan seterusnya. Begitu juga untuk kepala daerah baik itu mungkin kelas gubernur, bupati, walikota, atau presiden tentu ada protap tersendiri," jelas Melki.
"Tapi sebenarnya semua dilakukan untuk memastikan bahwa dialog bisa dilakukan dengan damai," tambah Melki, seperti dikutip dari detikBali, melalui pesan WhatsApp, Kamis (17/7/2025) malam.