GMNI Jakarta Selatan Gelar Diskusi Publik: Desak Pemakzulan Gibran dan Adili Jokowi

Daftar Isi


GMNI Jakarta Selatan Gelar Diskusi Publik: Desak Pemakzulan Gibran dan Adili Jokowi
Diskusi publik GMNI Jaksel diadakan di Sekretariat DPC GMNI Jaksel Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan, Senin 14 Juli 2025 (Doc: GMNI Jaksel)


Waeboto.com - Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan (Jaksel) mengadakan diskusi publik bertema "Prosedur Konstitusional Pemakzulan Wakil Presiden: Analisis Kritis Terhadap Wacana Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka". Acara ini berlangsung di Sekretariat DPC GMNI Jaksel, Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan, pada Senin, 14 Juli 2025.

Diskusi ini menghadirkan sejumlah pembicara terkemuka, antara lain pengamat politik Ray Rangkuti, mantan Hakim Konstitusi (2003-2008) Maruarar Siahaan, dan pakar hukum tata negara Feri Amsari. Berbagai kalangan turut hadir, termasuk mahasiswa, akademisi, dan pengamat hukum, yang secara bersama-sama mendesak tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran etik dan moral dalam proses pemilihan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Mereka secara tegas menuntut pemakzulan Gibran dan pengadilan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas dugaan praktik dinasti politik serta intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

Perlawanan Terhadap Dinasti Politik dan Kejahatan Kekuasaan

Dendy, Ketua GMNI Jaksel Bergerak Melawan Dinasti dan Kejahatan Jokowi, menegaskan bahwa perlawanan terhadap praktik dinasti politik dan kejahatan kekuasaan Jokowi harus terus digencarkan. Menurutnya, putusan MK No. 90 yang mengabulkan Gibran sebagai calon wakil presiden merupakan hasil dari pelanggaran etik dan moral, sehingga dianggap tidak sah secara konstitusional.

Putusan MK Cacat Moral dan Konflik Kepentingan

Pakar hukum konstitusi, Maruarar Siahaan, menyatakan bahwa putusan MK harus dibatalkan karena terindikasi adanya konflik kepentingan.

"Kepastian hukum tidak boleh mengabaikan etika dan moral Pancasila," tegas Maruarar. Ia melanjutkan, "Rakyat berhak menolak putusan yang cacat moral, karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat."

Maruarar juga menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal constitutional complaint, sehingga DPR dan publik memiliki peran penting untuk menuntut pertanggungjawaban.

DPR Terbelah Menanggapi Tuntutan

Pengamat politik Ray Rangkuti mengungkapkan adanya dua kubu di internal DPR terkait tuntutan terhadap Gibran. "Pertama, kelompok yang mendesak segera membacakan tuntutan (didukung Golkar dan sebagian oposisi). Kedua, kelompok yang menunda-nunda, diduga karena tekanan politik," jelas Ray.

Skandal MK: Bukti Intervensi dan Pengkhianatan Konstitusi

Dosen Hukum Tata Negara Feri Amsari membeberkan skandal yang melibatkan MK dalam proses pengajuan dan pencabutan permohonan syarat usia Gibran. Ia merinci beberapa poin krusial:

  • "Kuasa hukum Umar Said (calon pemohon) mencabut permohonan pada Jumat, 29 [Bulan], namun MK tetap melanjutkan sidang."

  • "Pendaftaran ulang dilakukan Sabtu, 30 [Bulan]—padahal seharusnya tidak boleh."

  • "Anwar Usman (Ketua MK saat itu) datang khusus di hari libur (Sabtu) untuk memproses perkara."

  • "Tanpa pemeriksaan ahli atau proses hukum yang wajar, permohonan langsung dikabulkan."

"Ini adalah bukti nyata peradilan diperalat untuk kepentingan politik," tegas Feri. Ia menambahkan bahwa DPR harus menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk mengusut skandal ini.

Tuntutan GMNI Jakarta Selatan

GMNI Jakarta Selatan secara tegas menyampaikan tuntutan mereka:

  1. Pemakzulan Gibran, karena proses pencalonannya dianggap cacat hukum dan moral.

  2. Pertanggungjawaban Jokowi, atas dugaan intervensi terhadap MK dan praktik dinasti politik.

  3. DPR harus bertindak, menggunakan hak-hak konstitusionalnya untuk menyelidiki skandal ini.

"Kami tidak akan berhenti sampai keadilan konstitusi ditegakkan," tegas Sendy, anggota DPC GMNI Jaksel, mewakili suara mahasiswa.


Sumber: strategi.id